Monolog Bersama Hujan (II)

Aku kembali menatap kosong pada langit yang terang, tanpa hujan, tanpa bintang. Iya, sekarang sudah sangat larut. Hujan di sore tadi masih menumpuk awan-awan di langit, hingga tak ada bintang yang terlihat satupun sinarnya. Hanya desir angin malam yang membuat gigil, hanya temaram yang terlihat dari kejauhan. Aku rasa hujan akan datang lagi esok hari, kembali memberikan aroma favoritku. Iya, aroma khas tanah kering saat terkena derasnya yang pertama.

Kembali kunyalakan sebatang lintingan tembakau yang ku ambil dari saku celanaku, entah untuk keberapa kalinya aku menghisap tembakau itu hingga jadi puntung-puntung yang kemudian ku lempar jauh-jauh atau ku injak hingga baranya memadam. Ku hisap kuat-kuat tembakau yang sudah ku sulut dengan pemantik hingga asap bakarnya terasa sesak penuh di dalam dada, hingga keluar kepulan asap yang cukup banyak sesaat ku sembari menghela napas yang cukup panjang.

Aku tak sabar untuk kembali melihat surya di atas kepalaku nanti, berharap hujan datang bersamaan dengannya. Entah kenapa aku rindu dengan hujan, mungkin aku harus meminta maaf atas kejadian siang tadi. Maaf atas pengabaian yang aku lakukan. Maaf atas kebodohan yang aku lakukan tanpa sadar. Mungkin irama deras dari hujan berusaha menghiburku saat aku sedang dilanda kalut yang tak bisa ku ceritakan. Aku rindu.

Mungkin jika nanti hujan datang, aku ingin menari bersamanya, hingga kuyup. Tapi maaf akan ku ucapkan sekali lagi, jika aku menari bersama hujan nanti aku akan kembali menangis, ku harap hujan tak marah ataupun kesal. Karena aku menangis bersamanya hanya untuk menutupi derasnya air mata yang jatuh. Iya, maaf kalau hujan hanya jadi penyamar saat aku menangis.

Tapi jangan katankan pada siapapun juga yaa, kalau aku masih tetap menangis. Bukan tentang apa yang akan orang katakan tentang aku. Aku tidak akan pernah peduli tentang pandir orang lain bila mengolok-olok aku yang sedang menangis. Hanya saja, aku…..

Ah, besok saja aku ceritakan.

Monolog Bersama Hujan (I)

Ketika pandir datang hanya untuk mengolok-olok apa yang sedang terjadi, aku hanya duduk bersandar pada tembok berwarna pudar, mendongakan kepala, menatap kepulan asap bakar tembakau yang aku embuskan pelan melalui mulutku, kemudian hilang bersamaan terbawa embusan angin yang aku tak tahu arah datangnya, mungkin Tenggara.

Hujan datang hampir setiap hari, mungkin bermaksud menghiburku, hujan sangat tahu bahwa aku suka sekali mencium aroma tanah kering yang terkena tetesan hujan dideras pertamanya. Iya, aromanya sangat khas dan menenangkan. Entah pesan apa yang dibawa hujan, aku tak begitu memperhatikannya. Aku masih sibuk isapan tembakau yang ku bakar hingga penuh di dalam dada hingga merata, lalu ku embuskan lagi asap itu hingga membuat kepulan tebal berwarna putih, terus mengulang hal yang sama, sambil sesekali menengok ke kejauhan. Kosong.

Petir datang tiba-tiba, buyarkan tatapan kosong yang sedari tadi membuat mataku tak berkedip. Seperti datang dengan setumpuk amarah yang membuatku tertampar dengan keras. Aku tak mengerti apa yang dia katakan, terus saja mencaci, bahkan sambil sesekali terus menyudutkan aku tentang segala hal yang pernah terjadi di masa lalu. Aku tak ambil pusing, aku kemudian bangkit dari tempatku terduduk. Berjalan meninggalkan petir yang masih menyimpan banyak kata yang sudah dia hapalkan untuk menjejal telingaku dengan cacian dan alasannya, dan hujan, yang masih setia dan akan datang kembali esok hari, membawa aroma favoritku saat derasnya yang pertama.

 

Aku berbalik menuju ruangku, dengan terisak, menahan sesak, mencoba berontak, aku jatuh tergeletak. Jangan katakan pada siapapun jika aku sedang menangis.

Pilpres 2014: Kampanye atau Perang?

Kali ini gue coba posting yang rada berbobot deh, entah dari segi sebelah mana bobotnya.

9 Juli 2014 akan menjadi sejarah baru negara Republik Indonesia, 2 pasang capres dan cawapres saling berebut menjadi penunggang mobil mewah berplat nomor RI 1 dan RI 2. Memegang jabatan tertinggi di Indonesia, mengatur segala seluk-beluk dunia ekonomi, pendidikan, pemerintahan, dll.

pilpres-2014

Gue mencoba menulis beberapa keresahan gue yang gue rasa terkait dengan pilpres 2014 kali ini, yang gue rasa sekarang semacam bukan kampanye sportif dan elegan. Entah apa yang disusun oleh para tim sukses dari para capres dan cawapres yang diusung, para timses yang terkait ini menurut gue bukan seperti kampanye melainkan sebagai perang. Perang yang bisa dibilang mejatuhkan capres dan cawapres lain di mata masyarakat, baik yang sudah mengerti tentang apa itu politik dan seluk-beluknya maupun orang awam yang belum benar-benar mengerti siapa yang bakal menjadi presiden yang akan memimpin negara mereka kelak.

Baca lebih lanjut

Seandainya

Seandainya apa yang telah terpikir bisa dengan mudah terucap
Seandainya apa yang menjadi tanya bisa dengan cepat terungkap
Tidak perlu bibir terkatup, tidak perlu menulikan telinga
Tidak perlu pula mata berpaling ke sudut terluas di ruangan gelap ini

Seandainya gelap bisa dengan mudah berubah terang
Seandainya bosan bisa dengan cepat berubah riang
Tak mungkin ada rasa yang bertanya-tanya
Tak mungkin ada hati yang mesti berduka

Apa hanya satu nama yang merasakannya?
Satu nama yang merasa tak berarti dengan pengabaian
Satu nama yang merasa tak berguna dengan ketidakpastian
Namun masih tetap menunggu sekalipun diliputi tanda tanya

Rizky Januardi Satria

Rindu Ini

Rindu ini yang kian mengarang
Tak berdaya diterpa kata membuat berang
Bersama gusar dalam setiap hembusan napas
Dibantai jarak tergeletak lemas

Rindu ini yang kian membatu
Berselimut malam gigil yang membeku
Menghardik langkah untuk berlari
Tetap tak berubah, tetap disini

Tak bisa jelaskan apapun
Tanpa menatap mata teranggun
Tak bisa tunjukan apapun
Tanpa tahu apa mimik tak melamun

Rindu ini yang kian buta
Tidak hanya dimiliki kamu semata

Rindu ini yang kian padu
Menunggu saat-saat tatap beradu

Rindu ini yang kian alam
Seperti tak bisa menatap samudra terdalam

Rindu ini yang kian sejati
Apa yang terasa takkan pernah mati

 

 

Rizky Januardi Satria