Aku kembali menatap kosong pada langit yang terang, tanpa hujan, tanpa bintang. Iya, sekarang sudah sangat larut. Hujan di sore tadi masih menumpuk awan-awan di langit, hingga tak ada bintang yang terlihat satupun sinarnya. Hanya desir angin malam yang membuat gigil, hanya temaram yang terlihat dari kejauhan. Aku rasa hujan akan datang lagi esok hari, kembali memberikan aroma favoritku. Iya, aroma khas tanah kering saat terkena derasnya yang pertama.
Kembali kunyalakan sebatang lintingan tembakau yang ku ambil dari saku celanaku, entah untuk keberapa kalinya aku menghisap tembakau itu hingga jadi puntung-puntung yang kemudian ku lempar jauh-jauh atau ku injak hingga baranya memadam. Ku hisap kuat-kuat tembakau yang sudah ku sulut dengan pemantik hingga asap bakarnya terasa sesak penuh di dalam dada, hingga keluar kepulan asap yang cukup banyak sesaat ku sembari menghela napas yang cukup panjang.
Aku tak sabar untuk kembali melihat surya di atas kepalaku nanti, berharap hujan datang bersamaan dengannya. Entah kenapa aku rindu dengan hujan, mungkin aku harus meminta maaf atas kejadian siang tadi. Maaf atas pengabaian yang aku lakukan. Maaf atas kebodohan yang aku lakukan tanpa sadar. Mungkin irama deras dari hujan berusaha menghiburku saat aku sedang dilanda kalut yang tak bisa ku ceritakan. Aku rindu.
Mungkin jika nanti hujan datang, aku ingin menari bersamanya, hingga kuyup. Tapi maaf akan ku ucapkan sekali lagi, jika aku menari bersama hujan nanti aku akan kembali menangis, ku harap hujan tak marah ataupun kesal. Karena aku menangis bersamanya hanya untuk menutupi derasnya air mata yang jatuh. Iya, maaf kalau hujan hanya jadi penyamar saat aku menangis.
Tapi jangan katankan pada siapapun juga yaa, kalau aku masih tetap menangis. Bukan tentang apa yang akan orang katakan tentang aku. Aku tidak akan pernah peduli tentang pandir orang lain bila mengolok-olok aku yang sedang menangis. Hanya saja, aku…..
Ah, besok saja aku ceritakan.